Saat
kita memandang gunung yang menjulang membisu, apa yang ada dipikiran?
Bukit, gunung, lembah, semuanya membisu. Hanya desis angin malam
terdengar. Barangkali gunung ini telah diam istirahat berabad-abad,
mengumpulkan kekuatan untuk suatu saat nanti meledakkan diri, menghambur
laksana bulu-bulu beterbangan ditiup angin.
Entahlah. Tapi aku merasa yakin itu pasti akan terjadi. Mungkin nanti kalau kiamat. Puncak-puncak gunung yang sunyi seperti mengawetkan segala kemurnian dunia yang sudah hilang ditelan ambisi dan keinginan dunia di bawah sana. Di tengah-tengah keheningan dan aroma kemurnian ini, aku merasa bumi di bawah telah begitu lusuh, sumpek. Kadang-kadang aku berpikir rumahku sesungguhnya ada di sini, di setiap puncak gunung-gunung. Sebab, di puncak-puncak itulah aku merasakan akrab dengan semua lingkungan di sekitarku. Aku sulit mengakrabi kota-kota besar, apalagi metropolitan seperti Jakarta. Hampir semua yang kutemui adalah palsu – air mancur buatan, bunga palsu di vas bunga meja kantor, lukisan-lukisan pemandangan, senyum dibuat-buat para SPG di mall-mall, toko-toko, keramahan semu di jalan-jalan, menjual agama dan mengatasnamakan Tuhan demi kekuasaan.
Orang di kota kebanyakan tak mengerti kenapa ada orang-orang yang begitu menyukai gunung-gunung yang sepi, jauh dari gemerlap dan keceriaan. Tetapi sesungguhnya situasi di alam bukanlah kesepian, melainkan keheningan. Orang-orang kota besar mudah merasa kesepian, namun di kota besar orang susah merasakan keheningan. Keheningan memiliki daya yang unik dan asli, yang hakiki. Keheningan tidak mengisolasi kita dari keberadaan diri kita, tetapi mendekatkan eksistensi kita dengan hakikat segala sesuatu. Kita menjadi dekat dengan diri kita sendiri. Di keramaian kota, kita mengasingkan diri kita sendiri dalam keheningan, selalu tumbuh kesadaran.
Kita sebenarnya adalah sungai-sungai kecil yang membawa lentera-lentera kecil yang memancarkan serpihan cahaya di antara bebatuan dan pepohonan, yang menyusup di sela-sela awan nan tinggi. Cahaya itu kadang menyurut redup di dekap kabut, yang bermain di kelopak mata kita, yang terlalu sering mengantuk dihembus angin malam, yang dingin, yang mencekam dan yang menusuk pori-pori kulit kita, yang tak lagi murni.
Tubuh kita adalah cermin yang terlanjut kusam oleh debu dunia dan terlalu lama sudah wajah kita ini kita tutup dengan topeng yang tersenyum selalu. Tanyakan pada nurani, sebab ku yakin nurani akan berkata jujur karena ia tak pernah berbohong sejak ia diciptakan. Pandanglah dengan seksama manusia kota yang kita sebut beradab itu. Mereka sering berbohong demi ambisi pribadi, menipu nurani. Nurani disingkirkan di sudut hati, dan ia hanya bisa menangis melihat kita berenang bersama kebohongan.
Tapi alam, dengan pantai, ombak, gunung, kabut, angin, embun, hujan dan hutan mengajariku kejujuran dan kesederhanaan. Ia mentertawakan manusia. Manusia begitu rapuh berhadapan dengan dirinya sendiri. Kita, para manusia, sering mengingkari ikrar kehidupan yang dulu kita buat bersama semesta. Ikrar kita adalah menjadi wakil Tuhan. Kita adalah semesta kecil yang menampung semesta besar. Semesta kecil ini bukan hanya tubuh dan pikiran, tetapi juga ruh dan jiwa rohani. Tapi kita abai, kita tak serius dengan ikrar kita, sementara Tuhan sungguh-sungguh serius dengan ikrar-Nya. Betapa sering kita ingkar dan tak patuh.
Aku kadang sedih dan malu sebab ternyata “kepatuhan Tuhan kepada manusia jauh lebih besar ketimbang kepatuhan kita kepada-Nya.” Bagaimana tidak, Tuhan telah berjanji untuk menyayangi manusia. Kita dulu juga berjanji untuk mematuhi-Nya. Lihatlah, walau banyak tindakan keingkaran seperti kekejaman dan kekejian yang terkadang membuat kita hampir-hampir tak percaya bahwa manusia bisa begitu kejam, tetapi Tuhan tetap patuh. Dia tetap mengirimkan hujan pada musimnya; Dia selalu menyegarkan kembali udara hingga kita tetap bisa bernafas; Dia tetap memerintahkan mentari dan rembulan menjalankan rutinitasnya; Dia tak mengeringkan air; Dia tak cabut rasa kenikmatan saat manusia berhubungan seksual kendati itu dilakukan di luar aturan yang ditetapkan-Nya.
Jadi Tuhan begitu patuh kepada kita. Dia menjaga kita. Tapi kita suka ceroboh, iseng, dan kurang ajar. Kita kacaukan udara kita, kita rusak alam kita, kita salah gunakan kenikmatan, kita bikin alam yang dipelihara baik-baik oleh Tuhan menjadi menderita. Tetapi, alam itu punya batas kesabarannya sendiri. Ketika hutan gunung kita peras, alam marah. Mereka bersatu dengan air untuk menciptakan banjir. Tapi kita tak pernah mau sadar juga.
Tetapi rupanya manusia lebih suka memuaskan nafsu sesaatnya ketimbang menciptakan harmoni semesta kecil dan semesta besar.
Jadi kalau saja kita mau hidup sederhana saja, barangkali petaka tak kan sedemikian dahsyat. Keserakahan yang membuat banyak hewan punah, hutan di habis, tanah tandus, dan ozon bolong, AIDS muncul, pemanasan global. Ah, apalagi petaka yang menunggu di depan mata akibat keserakahan kita. Ya Tuhan, betapa banyak kearifan yang dibutuhkan di bumi yang makin muram ini.
Alam yang indah dan tenang ini sesungguhnya banyak mengajarkan rahasia bagaimana manusia membangun dirinya menjadi sosok yang berpribadi mulia; tenang, hening dan tegar seperti gunung, ramah seperti kicau burung, bergelora seperti ombak laut dan badai, sabar seperti tanah bumi, penuh kesadaran dan istiqamah seperti matahari, lembut seperti cahaya bulan, dan dermawan seperti udara. Maka aku mesti menyatu dengan alam, seperti kata Walt Whitman:
Now I see the secret of the making of the best person.
It is to grow in the open air.
And to eat and sleep with the earth.
Pada akhirnya, kawan, jika kau ingin mendaki gunung, ingatlah kata-kata bijak sang pendaki pertama yang menjangkau atap dunia: It is not the mountain we conquer, but ourselves..
Nah, kawanku yang baik, rasanya kau sekarang tahu kenapa aku mencintai gunung.
0 Response to "MENGAPA AKU MENCINTAI GUNUNG..???"
Posting Komentar